Apa itu Penuntutan?
Apa itu Penuntutan?
Dalam Undang-undang ditentukan bahwa hak penuntutan hanya ada pada penututan umum yaitu Jaksa yang diberi wewenang oleh kitab-kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana No.8 tahun tahun 1981. Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP Tercantum defenisi penututan sebagai berikut;
“Penuntutan adalah tindakan penututan
umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan
suapay diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”
Yang bertugas menurut atau penuntut umum
ditentukan di Pasal 13 jo Pasal butir 6 huruf b yang pada dasarnyan berbunyi :
“Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penututan dan melaksanakan
penetapan hakim “
Kemudian Muncul undang-undang No. 5 tahun
1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya tidak diberlakukan
lagi dan diganti oleh Undang-undang No. 16 tahun 2004, yang menyatakan bahwa
kekuatan untuk melaksanakan penuntutan itu dilakukan oleh kejaksaan. Dalam
Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tetap Kejaksaan Republik Indonesia yang
memberikan wewenang kepada Kejaksaan (Pasal 30), yaitu:
1. Melakukan Penuntutan;
2. Melaksanakan penetapan
hakim dan putusan pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3. Melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan putusan pidana bersayarat, putusan pidana pengawasan, dan
keputusan lepas bersyarat
4. Melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
5. Melengkapi berkas
perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dan
penyidik.
Mengenai kebijakan penuntutan, penuntut
umumlah yang menentukan suatu perkara hasil penyidikan, apakah sudah lengkap ataukah
tidak untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk diadili. Hal ini diatur
dalam pasal 139 KUHAP. Jika menurut pertimbangan penututan umum suatu perkara
tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke Pengadilan ataukah perkara tersebut
bukan merupakan suatu delik, maka penuntut umum membuat membuat suatu ketetapan
mengenai hal itu (Pasal 140 ayat (2) butir b (KUHAP). Mengenai wewenang penutut
umum untuk menutup perkara demi hukum seperti tersebut dalam Pasal 140 (2)
butir a (KUHAP), Pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa “Perkara
ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan buku I Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut yang diatur dalam Pasal 76;77;78
dan 82 KUHP.
Penuntutan Perkara dilakukan oleh Jaksa
Penuntut umum, dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang diembannya.
Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penempatan hakim.
Dalam melaksanakan penuntutan yang menjadi
wewenangnya, penuntut Umum segera membuat surat dakwaan berdasarkan hasil
penyidikan. Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau perkara
ditutup demi hukum, maka penuntut umum menghentikan penuntutan yang dituangkan
dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka berada dalam tahanan tahanan,
sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus segera di
keluarkan dari tahanan. Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut
dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut
dibertahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan
kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan
negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohon
praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu KUHAP dan apabila
kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan
terhadap tersangka.
Nebis in Idem berarti tidak melakukan
pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan (feit)yang
sama. Ketentuan ini disahkan pada pertimbangan, bahwa suatu saat (nantinya)
harus ada akhir dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya ketentuan
pidana terhadap suatu delik tertentu. Asas ini merupakan pegangan agar tidak
lagi mengadakan pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari satu
tindakan pidana yang sudah mendapat putusan hukum yang tetap.
Dengan maksud untuk menghindari dua
putusan terhadap pelaku dan tindakan yang sama juga akan menghindari usaha
penyidikan/ penuntutan terhadap perlakuan delik yang sama, yang sebelumnya
telah pernah ada putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap. Tujuan dari atas
ini ialah agar kewibawaan negara tetap junjung tinggi yang berarti juga
menjamin kewibawaan hakim serta agar terpelihara perasaan kepastian hukum dalam
masyarakat
Agar supaya suatu perkara tidak dapat
diperiksa untuk kedua kalinya apabila; Pertama Perbuatan yang didakwakan (untuk
kedua kalinya) adalah sama dengan yang didakwakan terdahulu. Kedua Pelaku yang
didakwa (kedua kalinya) adalah sama. Ketiga untuk putusan yang pertamateri
terhadap tindakan yang sama itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Belakangan dasar ne bis in
idem itu digantungkan kepada beberapa hal bahwa terhadap seseorang
itu juga mengenai peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakim
dengan vonis yang tidak diubah lagi. Putusan :
Pertama Penjatuhan Hukuman (veroordeling) Dalam
hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa terdakwa terang salah telah melakukan
peritiwa pidana yang dijatuhkan kepadanya;atau
kedua: Pembebasan dari
penuntutan hukum (ontslag van rechtvervoging) Dalam hal
ini hakim memutuskan, bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itu
dibuktikan dengan cukup terang, akan tetapi peritiwa itu ternyata bukan
peristiwa pidana, atau terdakwanya keadapatan tidak dapat di hukum karena tidak
dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu, bahwa keslahan terdakwa
atas peristiwa yang dituduhkan kepadanya tidak cukup buktinya.
Dalam Pasal 77 KUHP yang berbunyi: Hak Menuntut hukum
gugur (tidak berlaku lagi) lantaran si terdakwa meninggal dunia. Apabila
seorang terdakwa meninggal dunia sebelum putus ada putusan terakhir dari
pengadilan maka hak menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf
pengutusan, maka pengusutan itu dihentikan. Jika penuntut telah dimajukan, maka
penuntut umum harus oleh pengadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan
tentunya (Niet-ontvankelijk) umumnya demikian apabila pengadilan banding atau
pengadilan kasasi masih harus memutuskan perkaranya.
Pasal 82 82 KUHP yang berbunyi : Ayat (1)
:” Hak menuntut hukum karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tak lain
dari pada denda, tidak berlaku lagi bagi maksimun denda dibayar dengan kemauan
sendiri dan demikian juga di bayar ongkos mereka, jika penilaian telah
dilakukan, dengan izin amtenaar yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam
tempo yang ditetapkannya”.
Ayat (2): ”Jika perbuatan itu terencana
selamanya denda juga benda yang patut dirampas itu atau dibayar harganya, yang
ditaksir oleh amtenaar yang tersebut dalam ayat pertama”.
Ayat (3):” Dalam hal Hukuman itu tambah
diubahkan berulang-ulang membuat kesalahan, boleh juga tambahan itu dikehendaki
jika hak menuntut hukuman sebab pelanggaran yang dilakukan dulu telah gugur
memenuhi ayat pertama dan kedua dari pasal itu’.
Ayat (4);”Peraturan dari pasal ini tidak
berlaku bagi orang yang belum dewasa ,yang umumnya sebelum melakukan perbuatan
itu belum cukup enam belas tahun”.
Penghapusan hak penuntutan bagi penuntut
umum yang diatur dalam Pasal 82 KUHP mirip dengan ketentuan hukum perdata
mengenai transaksi atau perjanjian.
Tahap Pemeriksaan Pengadilan
Apabila terhadap suatu perkara pidana
telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut diajukan kepengadilan. Tindak
Pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili dan diputus oleh majelis
hakim dan Pengadilan Negeri yang berjumlah 3 (Tiga) Orang.
Pada saat majelis hakim telah ditetapkan,
selanjutnya ditetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh
penuntut umum kepada terdakwa di alat tempat tinggalnya atau disampaikan di
tempat kediaman terakhir apabila tempat tinggalnya diketahui. Dalam hal ini
surat panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk perkara apa ia dipanggil.
Surat panggilan termaksud disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum
sidang dimulai.
Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian berdasarkan
undang-undang yang negatif (Negatif wettelijk). Hal ini dapat disimpulkan dari
Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 183 KUHAP menyatakan:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadinya
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berdasarkan pernyataan tersebut, nyatalah
bahwa pembuktian harus didasarkan apad alat bukti yang disebutkan dalam
undang-undang disertai keyakinan hakim atas alat-alat bukti yang diajukan dalam
persidangan, yang terdiri dari:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk; dan
5. Keterangan terdakwa.
Disamping itu kitab Undang-undang hukum
Acara Pidana juga menganut minimun pembuktian (minimum bewijs), sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 183 tersebut. Minimun pembuktian berarti dalam memutuskan suatu
perkara pidana hakim harus memutuskan berdasarkan sejumlah alat bukti. Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan batasan minimal penggunaan alat
bukti, yaitu minimal dua alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti disertai oleh
keyakinan hakim.
Tahap memeriksaan perkara pidana
dipengadilan ini dilakukan setelah tahap pemeriksaan pendahuluan selesai.
Pemeriksaan ini dilandaskan pada sistem atau model Accusatoir, dan dimulai
dengan menyampaikan berkas perkara kepada Public prosecutor.
Pemeriksaan dimuka sidang pengadilan
diawali dengan pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan ynag dilakukan
secara sah menurut undang-undang. Dalam hal ini KUHAP pasal 154 telah memberikan
batasan syarat undang undang dalam hali KUHAP pasal 154 telah memberikan
batasan syarat syahnya tentang pemanggilan kepada terdakwa, dengan ketentuan;
Surat panggilan kepada terdakwa
disampaikan di alat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak
diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.
Apabila terdakwa tidak ada ditempat
kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang
berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir
dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat
panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.
Penerimaan surat panggilan terdakwa
sendiri ataupun orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda
penerimaan
apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman
terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di
gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya.

0 Response to "Apa itu Penuntutan?"
Post a Comment