Artikel Ganti Kerugian Lengkap
Hay Sobat Pustaka, kali ini ada artikel menarik mengenai Ganti Kerugian yang ada dalam hukum acara pidana lho, silahkan disimak penjelasanya berikut ini...
![]() |
ganti rugi source : radarlamsel.com |
Pengertian Ganti Kerugian
Ganti
kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya
memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian
lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata.
Ganti kerugian yang akan dibicarakan adalah ganti kerugian dalam hukum pidana.
Ruang
lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti kerugian
dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada
Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke
dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat
terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya
(tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian
immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang,
kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita
dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil
atau kerugian moril, yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang
pasti. Misalnya rasa ketakutan, kehilangan kesenangan atau cacat anggota tubuh
Sebagai contoh A beli buku tulis. Namun A tidak mendapat buku tulis itu
meskipun ia telah membayar sejumlah uang untuk membeli buku tulis tersebut
(kerugian materil). Seandainya A mendapat buku tulis tersebut, buku itu bisa ia
pakai untuk menulis, dan dari hasil menulis itu A bisa membuat novel dan
menjual novel tersebut untuk mendapatkan uang (kerugian immaterial).
Sedangkan
ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti
kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena
perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa
Acara Pelaksanaan Ganti Kerugian
Dalam ganti
kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan
permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah
tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan
ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas
perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti
kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus
perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa
mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan.
Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka
waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur
di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan
maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Seorang
tersangka, terdakwa, terpidana dapat mengajukan ganti kerugian jika penahanan,
penangkapan, penggeledahan, pengadilan dan tindakan lain (tindakan diluar
penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan tindakan tersebut memang
tidak seharusnya dilakukan kepada tersangka oleh aparat penegak hukum) atas
dirinya tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan.
Saat yang
tepat untuk mengajukan ganti kerugian atas sah tidaknya penangkapan atau sah
tidaknya penahanan adalah sekaligus pada saat mengajukan praperadilan (sebelum
pengadilan dimulai). Seorang tersangka atau terdakwa tidak bisa menuntut ganti
kerugian yang besarnya semaunya/sesuka-suka dia, karena KUHAP menentukan jumlah
maksimal tuntutan ganti kerugian yang dapat dimintakan, yaitu minimal
Rp.5.000,- dan maksimal Rp. 1 juta atau Rp.3 juta (jika tindakan aparat penegak
hukum telah menyebabkan sakit atau cacat).
Apabila
permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun
penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita
mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1)
KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan
permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya
mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,.
Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang
dilakukan secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah
menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan
tersebut.
Jika
terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam
jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap.
Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus
menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut.
Dalam hal
ini (masalah ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang
memutuskan yang dulu menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup
kemungkinan pada prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan
berbeda misalnya karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus
lain. Permohonan ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari
setelah sidang pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi
besar jumlah ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti
kerugian.
Setelah
penetapan dikeluarkan maka akan dilaksanakan eksekusi yang dilaksanakan
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai eksekusi. Prosesnya adalah
sebagai berikut: ketua pengadilan negeri setempat yang memeriksa perkara
tersebut mengajukan permohonan penyediaan dana kepada menteri kehakiman c.q.
sekretaris jenderal depkeh yang selanjutnya akan meneruskan kepada menteri
keuangan c.q. dirjen anggaran dengan menerbitkan surat keputusan otorisasi. Ada
surat keputusan SKO gitu. Kemudian aslinya itu akan disampaikan kepada si
terdakwa. Setelah SKO itu diterima maka ia mengajukan pembayaran kepada kantor
perbendaharaan negara melalui ketua pengadilan setempat. Jadi pada dasarnya
terdakwa itu hanya ke pengadilan negeri dan yang melaksanakan segala prosedur
adalah pengadilan negeri. Proses ini biasanya akan memakan waktu sekitar 6
bulan sampai 1 tahun.
Ganti
kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum syarat-syaratnya antara lain
adanya penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dsb yang diminta melalui
praperadilan. Tapi tanpa praperadilan pun bisa yaitu melalui permohonan
permintaan ganti kerugian yang jumlahnya minimal adalah Rp.5000,- dan maksimal
1 juta rupiah, sementara kalau misalnya ada cacat tetap maupun tidak itu
maksimalnya 3 juta rupiah. Prosedur untuk permintaan ganti kerugian melalui
praperadilan itu berbarengan, bersamaan dengan gugatan praperadilan. Sementara
prosedur permintaan ganti kerugian diluar praperadilan itu diajukan kepada PN
yang memeriksa perkara atau kasus tersebut.
Dasar hukum
adanya ganti kerugian karena perbuatan terdakwa adalah Pasal 98 ayat (1) KUHAP
yang menyebutkan bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam
pemeriksaan perkara pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim
ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan
perkara ganti kerugian itu kepada perkara pidana. Ganti kerugian karena
perbuatan terdakwa diajukan oleh korban. Korban disini bisa korban atas
perbuatan (misalnya terdakwa melakukan perbuatan tindak pidana yang
mengakibatkan luka berat atau meninggal yang disebabkan karena pengeroyokan
atau kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama) atau misalnya pelanggaran
terhadap pasal 187/188 KUHP (kebakaran yang disebabkan karena kelalaian atau
kesengajaan terdakwa), kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan yang menimbulkan
kerugian, kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan termasuk penganiayaan,
pembunuhan. Intinya adalah kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan
korban tersebut mendapatkan kerugian.
Korban dapat
menggabungkan perkara ganti kerugian tersebut kepada perkara pidana. Tujuannya
adalah untuk mempercepat proses memperbaiki ganti kerugian tersebut. Korban
juga bisa mengajukan gugatan ganti kerugian melalui hukum acara perdata, namun
prosesnya akan lama dibandingkan jika permohonan ganti kerugian digabungkan
dengan perkara pidananya. Besarnya jumlah ganti kerugian ini hanya terbatas
pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
Artinya kalau misalnya korban mengalami luka-luka dan dia harus ke rumah sakit,
maka hanya biaya Rumah Sakit saja yang dapat diminta ganti kerugian. Jika
korban mempunyai tuntutan lain seperti tuntutan immateril karena dirinya cacat,
maka gugatan immaterilnya itu harus diajukan sebagai perkara perdata biasa dan
tidak bisa digabungkan ke perkara pidana. Jika tindak pidana dilakukan oleh
banyak orang (tindak pidana massal) maka polisi akan mencari siapa-siapa saja
yang menjadi tersangka/terdakwa sebagai orang yang bertanggungjawab secara
pidana dan hanya kepada tersangka/terdakwa itulah ganti kerugian dimintakan.
Penggabungan
perkara ganti kerugian dalam suatu perkara pidana ini merupakan suatu hak yang
diberikan oleh KUHAP kepada korban. Kepada korban KUHAP memberikan hak kepada
mereka untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Gugatan ganti kerugian ini
memang pada saatnya bersifat perdata namun diajukan pada saat perkara pidana
ini berlangsung dengan alasan agar prosesnya lebih cepat.
Ganti
kerugian yang dimohonkan oleh korban dilakukan bersamaan dengan proses
pemeriksaan terdakwa di pengadilan, yaitu sebelum jaksa penuntut umum
mengajukan tuntutannya atau requisitornya. Bisa juga dia tidak mengajukannya
sendiri melainkan meminta tolong kepada jaksa penuntut umum untuk memasukkan
permohonan ganti kerugian dalam tuntutannya. Namun hal ini sangat jarang
terjadi. Dalam persidangan dengan acara cepat (seperti praperadilan,
pelanggaran lalu lintas, pencemaran nama baik, penghinaan ringan, tindak pidana
ringan) dimana persidangan dilakukan tanpa adanya jaksa penuntut umum, korban
dapat mengajukan permintaan ganti kerugian setidak-tidaknya sebelum hakim
memutus perkara tersebut.
Dalam hal
penggabungan perkara pidana dan perdata, maka eksekusi ganti kerugian dilakukan
menurut hukum acara perdata. Seandainya pihak terdakwa, terpidana dapat
membayar ganti kerugian kepada korban maka menurut Surat Keterangan Menteri
Kehakiman pihak korban bisa mengajukan permintaan secara lisan maupun tertulis
kepada ketua PN yang memeriksa perkara tersebut agar permohonan ganti kerugian
itu dieksekusi. Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut ketua PN memanggill
terpidana untuk membayar ganti kerugian. Jika ternyata terpidana tidak mampu
atau tidak bisa membayar maka hakim menetapkan untuk menyita barang bergerak
milik terpidana sesuai dengan jumlah ganti kerugian yang ditetapkan. Jika
ternyata barang bergerak tersebut jumlahnya tidak mencukupi, maka hakim dapat
menetapkan penyitaan eksekutorial, yaitu penyitaan terhadap barang yang tidak
bergerak. Jadi dalam eksekusi pidana pihak yang melakukan eksekusi adalah
jaksa. Namun dalam perkara penggabungan pidana dan perdata, eksekusi pidana
dilakukan oleh jaksa, sedangkan untuk masalah ganti kerugian perdatanya
eksekusi dilaksanakan oleh panitera dibantu dengan juru sita.
Jika korban
tidak mengetahui bahwa dalam permohonan ganti kerugian diajukan oleh korban
kepada terdakwa hanya sebatas biaya yang telah dikeluarkan, maka putusan hakim
kemungkinan akan berbunyi putusan tidak dapat diterima dan harus diajukan
sebagai perkara perdata biasa karena permohonannya lebih dari jumlah yang
dikeluarkan dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa, maka korban dapat
mengajukan gugatan secara perdata biasa, tidak digabungkan dengan pidananya,
korban dapat langsung menggugat secara perdata saja. Atau mungkin juga hakim
memutus tidak dapat diterima gugatan tersebut tanpa adanya embel-embel perintah
untuk mengajukan secara perdata. Hal ini bisa dibilang menimbulkan masalah
nebis in idem, artinya kalau memang tidak dapat diterima tanpa ada perintah
mengajukan secara perdata saja maka korban tidak bisa mengajukan secara
perdata.
Pasal-pasal yang mengatur tentang hak untuk memperoleh ganti rugi
Pasal 1
angka 22 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
“Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
“Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Pasal 95
- (1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
- (2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
- (3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.
- (4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.
- (5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.
Pasal 96:
(1)
Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.
(2)
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan lengkap semua hal
yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.
Rehabilitasi
- Pengertian Rehabilitasi
Ketentuan
tentang rehabilitasi didalam KUHAP hanya pada satu pasal saja, yaitu pasal 97.
Sebelum pasal itu, dalam pasal 1 butir 23 terdapat definisi tentang
rehabilitasi sebagai berikut.
“Rehabilitasi
adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan
dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan,
penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun
diadili, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.”
- Alasan Rehabilitasi
Baik sebagai
alasan tuntutan ganti kerugian maupun alasan tuntutan rehabilitasi, yang
dimaksud oleh KUHAP bersifat limitatif, artinya terbatas atas hal-hal yang
disebutkan dalam ketentuan KUHAP saja.
Untuk alasan-alasan rehabilitasi disebutkan oleh pasal 97 sebagai berikut :
- Putusan bebas atau putusan
lepas dari segala tuntutan hukum, yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
- Ditangkap atau ditahan tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau
hukum yang ditetapkan, akan tetapi perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan
Negeri
Salah satu
alasan tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi ialah tindakan melawan hukum
harus dipenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Tidak bertentangan dengan suatu
peraturan hukum ;
- Selaras dengan kewajiban hukum
yang mengharuskan lakukan tindakan kejahatan ;
- Tindakan itu harus patut dan
masuk dalam lingkungan jabatannya ;
- Dilakukan atas pertimbangan
yang layak berdasarkan keadaan memaksa ;
- Menghormati hak asasi manusia
(penjelasan pasal 5 ayat 1 angka 4) :
- Tuntutan Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 97 ayat 3 KUHAP, diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari
setelah putusan mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan
kepada pemohon (tersangka, keluarga atau kuasanya, pasal 12 PP No. 27
tahun 1983).
ok, sekian dulu artikel mengenai ganti kerugian, semoga bermanfaat....

0 Response to "Artikel Ganti Kerugian Lengkap"
Post a Comment